Beda Penyembuhan Covid-19 Metode Antibodi Monoklonal dengan Antibodi Poliklonal
- admin
- 0
Metode penyembuhan infeksi Covid-19 kini semakin beragam. Bagi pasien Covid-19 yang bergejala ringan sampai sedang dapat mengkonsumsi multivitamin dan obat-obatan Covid-19 yang kerap diresepkan dokter. Tentu disertai dengan cukup istirahat, rajin olahraga, dan menjaga pola hidup sehat.
Untuk pasien Covid-19 dengan gejala sedang sampai berat, terapi pemulihan bisa melalui obat-obatan hingga transfusi atau intravena. Metode intravena ini bisa berupa terapi antibodi monoklonal dan terapi antibodi poliklonal. Contoh terapi antibodi poliklonal adalah melalui donor plasma konvalesen. Sementara terapi antibodi monoklonal, seperti yang dijalani oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, adalah dengan menggunakan zat bernama Regdanvimab.
Dokter Spesialis Patologi Klinik Primaya Hospital Pasar Kemis, Wita Prominensa menjelaskan apa itu terapi antibodi monoklonal dan terapi antibodi poliklonal, serta perbedaan keduanya. “Terapi antibodi monoklonal merupakan modifikasi terapi dengan mengidentifikasi karakteristik protein sel B spesifik pada sistem imun pasien yang telah pulih dari infeksi tertentu,” kata Wita kepada Tempo, Selasa 10 Agustus 2021.
Terapi antibodi monoklonal diharapkan mampu melawan virus penyebab infeksi. Sementara terapi antibodi poliklonal seperti terapi plasma konvalesen adalah pengambilan darah plasma dari penyintas Covid-19 dengan target memberikan antibodi yang muncul sebagai respons tubuh saat terinfeksi. Antibodi monoklonal memiliki aktivitas tunggal terhadap target yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara plasma konvalesen mengandung antibodi poliklonal dalam serum penyintas yang sedang dalam masa pemulihan.
Antibodi monoklonal yang dikembangkan pada Sars Cov-2 atau Covid-19 bekerja spesifik pada target gen spike dengan memblokir virus memasuki memasuki sel. Sedangkan plasma konvalesen bekerja pada target gen spike dan target gen lainnya. Dengan begitu, terapi antibodi poliklonal mampu menetralisir virus.
Antibodi monoklonal telah dikembangkan sebagai terapi dan profilaksis pada infeksi virus seperti HIV, influenza, Respiratory Syncytial Virus (RSV), MERS-CoV, Ebola dan Zika. Namun demikian, hanya antibodi monoklonal dengan target RSV dan Ebola yang terbukti efektif pada uji klinis untuk manusia dengan persetujuan Food and Drug Administration atau FDA Amerika Serikat, semacam badan pengawas obat dan makanan di sana. Adapun terapi donor plasma konvalesen sudah digunakan dan terbukti efektif sejak Sars Cov-1, H1N1, MERS-CoV, hingga Ebola.
Mengutip pernyataan FDA, Wita menjelaskan, tata laksana terapi antibodi monoklonal maupun terapi antibodi pliklonal melalui plasma konvalesen bersifat Emergence Use Authorization (EUA) atau izin penggunaan darurat, menyesuaikan perkembangan hasil uji klinis. Penerapan terapi antibodi monoklonal harus memperhatikan dosis, potensi efek samping, serta interaksi obat, seperti risiko anafilaksis maupun reaksi transfusi, rash, gangguan pencernaan.
Untuk terapi antibodi poliklonal melalui donor plasma konvalesen, FDA merekomendasikan metode ini sebagai adjuntive therapy yang efektifitasnya sangat dipengaruhi oleh subjek klinis, baik pendonor maupun pasien Covid-19. Wita melanjutkan, penting memperhatikan tiga kesinambungan, antara waktu pemberian yang tepat, pengamatan kondisi klinis, dan kadar titer antibodi yang optimal sebelum menerapkan terapi antibodi monoklonal maupun terapi antibodi poliklonal.
#CuciTangan #JagaJarak #PakaiMasker #DiamdiRumah